PENGILMUAN ISLAM
(Integrasi Ilmu dan Islam Menurut
Kuntowijoyo)
Oleh: Hadi Purwanto
A. Pendahuluan
Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa
ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran
beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam
akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu
menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam
rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Istilah Islamisasi Sains pertama kali
dikemukakan pada Konferensi Pendidikan Islam sedunia Pertama yang dilaksanakan
pada 31 Maret sampai 8 April 1977 di Jeddah, Saudi Arabia. Pada konferensi
tersebut Indonesia juga mengirimkan delegasinya yang dipimpin oleh AM
Syaifuddin.
Sedangkan diIndonesia wacana Islamisasi
Sains pertama kali dikemukakan pada Diskusi Panel Epistimologi Islam yang
dilaksanakan di Masjid Istiqlal pada 23 November 1985. Wacana ini terus
bergulir hingga sekarang sehingga memunculkan para intelektual-intelektual
Muslim yang menggagaskan Islamisasi Sains.
Salah satu intelektual Muslim Indonesia
yang menggagaskan Islamisasi Sains adalah Kuntowijoyo. Namun ide islamisasi
Sains Kuntowijoyo agak berbeda karena ia lebih memilih term “Pengilmuan Islam”
yang dianggapnya lebih benar.
Adapun batasan penulisan makalah ini agar
lebih terarah penulis hanya menjelaskan tentang (1) Biografi Kontoeijoyo (2) Latar
Belakang Pemikiran Pengilmuan Islam menurut Kuntowijoyo (3) Pengilmuan Islam
menurut Kuntowijoyo.
B. Biografi
Kuntowijoyo
Kuntowijoyo
Lahir di Soroboyan, Sanden, Bantul, Yogyakarta pada tanggal 18 September 1943,
dari pasangan H. Abdul Wahid Sostroatmojo dan Hj. Warasti. Meskipun dilahirkan
di Yogyakarta ia dibesarkan di Ngawonggo Kecamatan Ceper, Klaten dalam
lingkungan keluarga Jawa yang beraga Islam beraliran Muhammadiyah.
Kuntowijoyo menyelesaikan
Sekolah Dasar dan Madrasah pada tahun
1956 dan SMP tahun 1959, semuanya di Klaten. Sedangkan pendidikan SMA di Surakarta tamat tahun
1962. Setelah tamat SMA Kuntowijoyo melanjutkan pendidikannya di Jurusan
Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, dan selesai tahun 1969.
Gelar MA
American History (S2) diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat,
tahun 1974. Dan Gelar Ph.D (S3) Ilmu Sejarah di Universitas Columbia dengan Disertasinya, Social Change in an Agrarian
Society: Madura 1950—1940, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura
1850-1940.
Kuntowijoyo mengajar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah
Mada dan terakhir menjadi Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, dan menjadi peneliti
senior di Pusat Studi dan Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Selain sebagai sejarawan
Kontowijoyo dikenal sebagai sastrawan
dan budayawan yang arif, dan juga pemikir
(intelektual) Islam yang cerdas, jujur dan berintegritas. Kontowijoyo juga seorang kiyai, karena ia ikut
membangun dan membina Pondok Pesantren Budi Mulia tahun 1980 dan mendirikan
Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta tahun 1980. Dia
menyatu dengan pondok pesantren yang menempatkan dirinya sebagai seorang kiai.
Kuntowijoyo juga dikenal sebagai aktivis
Muhammadiyah. Dia sangat lekat dengan Muhammadiyah. Bahkan dia pernah menjadi
anggota PP Muhammadiyah dan dia melahirkan sebuah karya berjudul Intelektualisme
Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru.
Sejak awal
tahun 1990, Kuntowijoyo menderita sakit yang tergolong langka, yaitu meningno enchephalitis, semacam
radang selaput otak yang disebabkan oleh virus flu ganas. Penyakit ini
menyebabkan terganggunya kemampuan otak untuk menggerakkan tubuh. Namun meski
begitu, Kuntowijoyo tetap menulis. Bahkan setelah mengalami sakit, tulisan
Kuntowijoyo menjadi lebih jernih. Sampai menjelang akhir hayatnya, karya-karya
Kuntowijoyo terus mengalir hingga lebih dari 50 judul.
Kuntowijoyo meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Sardjito
Yogyakarta, Selasa, 22 Pebruari 2005 di usia 62 tahun akibat komplikasi; sesak
nafas, deare, dan ginjal.
C. Latar
Belakang Pemikiran Pengilmuan Islam menurut Kuntowijoyo
Ada dua hal
penting yang melatar belakangi pemikirannya terutama dalam merumuskan
gagasan-gagasannya tentang Islam. Pertama, perhatiannya yang sangat
besar terhadap pola pikir
masyarakat yang masih
dibelenggu mitos-mitos dan kemudian berkembang hanya sampai pada tingkat ideologi. Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia
telah mengalami agrarisasi.
Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit dan merupakan
mata-rantai penting peradaban
dunia telah mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk budaya-budaya
lokal.
Untuk itu dia melakukan analisis-analisis historis dan
kultural untuk melihat perkembangan
umat Islam di Indonesia. Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk
melontarkan gagasan-gagasan transformasi sosial melalui re-interpretasi
nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah mendorong manusia berpikir
secara rasional dan empiris.
Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa
depan yang cenderung mereduksi agama dan menekankan sekularisasi sebagai
keharusan sejarah. Industrialisasi dan teknokratisasi akan melahirkan moralitas
baru yang menekankan pada rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan dan
kesamaan. Ini mendorongnya
melontarkan gagasannya tentang paradigma Islam, terutama yang berkaitan dengan
rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam.
Selain itu
ilmu-ilmu Barat yang berkembang saat ini menurut Kontowijoyo adalah ilmu-ilmu yang
terlahir dari akal budi manusia yang diawali dengan
filsafat, antroposentrisme, diferensiasi, hingga menjadi ilmu sekular.
Filsafat adalah awal berangkat ilmu-ilmu sekuler. Rasionalisme yang berkembang
pada abad 15 M dan 16 M
menolak teosentrisme abad pertengahan. Wahyu dibuang, rasio diagungkan.
Antroposentrisme adalah konsekuensi logis dari
penolakan atas wahyu. Di mana manusia menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan,
dan pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana, dan sekaligus konsumen
atas produksinya sendiri. Waktu manusia memandang dirinya sebagai pusat, maka
terjadilah diferensiasi (pemisahan). Seluruh pengetahuan dipisahkan dari wahyu.
Karena itu kegiatan ekonomi, politik, hukum, dan ilmu pengetahuan dipisahkan
dari agama (sekular). Kebenaran ilmu terletak pada ilmu sendiri. Maka jadilah
apa yang dinamakan dengan ilmu sekular, ilmu yang diklaim sebagai objektif,
bebas nilai, dan bebas dari kepentingan. Namun ternyata, ilmu itu telah
melampaui dirinya. Ilmu yang semula adalah ciptaan manusia berbalik menjadi
penguasa atas manusia. Ilmu menggantikan wahyu sebagai pedoman kehidupan.
D. Pengilmuan
Islam menurut Kuntowijoyo
Secara harfiah, frasa “pengilmuan Islam”
berarti menjadikan Islam sebagai ilmu. Hal ini perlu
diperhatikan bahwa pengilmuan islam tidak hanya berbicara mengenai Islam sebagai
sumber ilmu, atau etika Islam sebagai panduan penerapan ilmu. Namun Islam itu
sendiri yang merupakan ilmu.
Dengan “pengilmuan Islam”, yang ingin ditujunya
adalah aspek universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta—bukan
hanya bagi pribadi-pribadi atau masyarakat Muslim, tapi semua orang; bahkan
setiap makhluk di alam semesta ini. “Rahmat bagi alam semesta” adalah tujuan
akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu dijanjikan bukan hanya untuk Muslim tapi
untuk semuanya. Tugas Muslim adalah mewujudkannya; pengilmuan Islam adalah
caranya. Secara lebih spesifik, Islam di-ilmu-kan dengan cara
mengobjektifkannya.
Untuk itu
dalam rangka pengilmuan Islam, Kuntowijoyo menawarkan dua metode, pertama adalah integralisasi, dan yang kedua adalah objektivikasi. Maksud
integralisasi adalah penyatuan ilmu-ilmu yang terlahir dari akal budi manusia
dengan al-Qur’an atau wahyu. Sementara yang dimaksud dengan objektivikasi
adalah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat bagi semua orang.
Dalam upaya
integralisasi, perlu adanya pembalikan. Sumber pertama pengetahuan dan
kebenaran haruslah agama, kemudian bergerak menjadi teoantroposentrisme,
dediferensiasi, dan ilmu integralistik. Penjelasannya adalah, pertama, sumber
pengetahuan dan kebenaran adalah dari agama,
dalam hal ini adalah wahyu Tuhan, yaitu al-Qur’an. Kemudian, di dalam teoantroposentrisme, kebenaran
agama digabungkan dengan kebenaran yang bersumber dari akal budi manusia.
Sehingga dalam praktiknya, terjadi dediferensiasi,
yaitu menyatunya agama dalam setiap aktivitas kehidupan, baik politik, ekonomi,
hukum, ataupun budaya. Selanjutnya dikenallah apa yang dinamakan dengan ilmu integralistik, ilmu yang
bukan sekedar menggabungkan, tetapi juga menyatukan antara wahyu dan hasil akal
budi manusia.
Kemudian
objektivikasi. Ia adalah suatu tindakan yang didasarkan oleh nilai-nilai agama,
tetapi disublimasikan dalam suatu tindakan objektif, sehingga diterima semua
orang. Tujuannya adalah untuk semua orang,
melintasi batas-batas agama, budaya, suku, dan lain-lain. Dalam istilah
Kuntowijoyo, objektivikasi adalah penterjemahan nilai-nilai internal ke dalam
kategori-kategori objektif.
E. Penutup
Dari uraian
makalah di atas maka penulis mengambil simpulan sebagai berikut:
1. Kontowijoyo adalah seorang sejarawan, sastrawan dan budayawan yang arif, dan
juga pemikir (intelektual) Islam yang cerdas, jujur dan berintegritas. Selain itu Kuntowijoyo adalah aktivis
Muhammadiyah dan pernah menjabat sebagai anggota PP Muhammadiyah.
2. Latar belakangi pemikiran Kuntowijoyo dalam
merumuskan gagasan-gagasannya tentang Islam, yaitu: Pertama, perhatiannya yang sangat besar
terhadap pola pikir
masyarakat yang masih
dibelenggu mitos-mitos dan kemudian berkembang hanya sampai pada tingkat ideologi. Kedua,
adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan
menekankan sekularisasi sebagai keharusan sejarah.
3. Menurut Kuntowijoyo pengilmuan Islam berarti menjadikan Islam
sebagai ilmu. Hal ini perlu diperhatikan bahwa pengilmuan islam tidak hanya
berbicara mengenai Islam sebagai sumber ilmu, atau etika Islam sebagai panduan
penerapan ilmu. Namun Islam itu sendiri yang merupakan ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar