Jumat, 25 Desember 2015

MENGENAL LANGKAH-LANGKAH KRITIK HADIS

MENGENAL LANGKAH-LANGKAH KRITIK HADIS
Oleh: Hadi Purwanto
A.    Pendahuluan
Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber pengetahuan tersebut ada dua macam, yaitu naqli dan aqli. Sumber yang bersifat naqli merupakan pilar dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus maupun masalah dunia secara umum. Sumber naqli yang paling otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah Al-Qur’an dan hadits.
Hadis bagi umat Islam menempati urutan kedua sesudah Al-Qur’an karena disamping sebagai sumber ajaran Islam hadis juga secara langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasulullah SAW, dan juga berfungsi sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-uangkapan Al-Qur’an yang masih bersifat mujmal, ‘am dan lain sebagainya.
Dalam perkembangannya Hadis banyak ditulis oleh para ulama-ulama Hadis (muhadditsin). Kitab-kitab yang telah ditulis sangat beragam, baik dari segi sitematika, topic penghimpunan maupun kualitas hadis yang dikandungnya. Hal tersebut terjadi karena proses penulisan dan pembukuan Hadis, kreteria penyeleksian serta obyek dan sasaran yang menjadi perhatian Ulama Hadis berbeda.
Dengan adanya keragaman  kitab hadis terutama dari segi kualitas hadis yang dikandungnya, upaya meneliti keshahihan hadis yang termuat menjadi urgen dilakukan. Tujuannya agar umat Islam benar-benar mampu memilah-milah antara hadis yang shahih dan hadis yang tidak shahih.
Salah satu upaya untuk mengetahui keshahihah suatu hadis para ulama hadis melakukan kritik hadis. Sehingga setalah dialakukan kritik hadis tersebut sebuah hadis benar-benar diketahui kualitasnya.  
Adapun batasan penulisan makalah ini agar lebih terarah penulis hanya menjelaskan tentang: (1) Pengertian kritik hadis, (2) Langkah-langkah kritik hadis

B.     Pengertian Kritik Hadis
Istilah krtitik pada literatur Arab diambil dari term naqd. Kata naqd ( نَقْد ) sendiri bermakna kritik. Banyak berbagai ungkapan yang mengandung makna kritik menggunakan kata naqd seperti ungkapan naqaada al-kalam wa naqada al-syu’ur artinya ia telah mengkritik bahasa dan telah mengkritik syair-syair.
Beberapa ulama hadis pun menggunakan istilah kritik pada karyanya seperti Imam Abu Hatim menggunakan istilah al-naqd wa al-nuqad pada kitabnya yang berjudul al-Jarh wa al-Ta’dil. Bahkan ada kitab yang menggunakan istilah kritik pada judulnya seperti kitab yang berjudul Ihtimam al-Muhadditsin bin Naqd al-Hadits Sanadan wa Matnan karya Luqman al-Salafi.
Adapun pengertian kritik Hadis menurut Ibnu Hatim Al-Razi adalah upaya menyeleksi (membedakan) antara hadis shahih dan dhaif, serta menetapkan status perawinya.
Sedangkan dalam disiplin Ilmu Kritik Hadis dapat didefinisikan sebagai berikut:
Penetapan status cacat atau ‘adil para perawi hadis dengan mempergunakan idiom khusus berdasar bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para ahlinya, dan mencermati matan-matan hadis sepanjang shahih sanadnya untuk tujuan mengakui validitas atau menilai lemah, dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan hadis yang shahih serta mengatasi gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikasikan tolak ukur yang detail.

Kritik hadis menjadi sebuah keharusan untuk menentukan hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Tujuannya adalah selain mengetahui keshahihan hadis uapaya kritik hadis juga akan memberikan keyakinan umat Islam dalam melaksanakan serangkaian ajaran agama yang berpegang pada hadis yang telah terbukti keshahihannya.
C.    Langkah-Langkah Kritik Hadis
Dalam melakukan kritik Hadis setidaknya ada 5 langkah yang harus dilakukan, diantaranya yaitu: takhrij hadis, i’tibar sanad, kritik sanad, kritik matan dan kesimpulan kritik hadis.
1.      Takhrij Hadis
Secara bahasa Takhrij berasal dari kata خَرَجَ ـ يَخْرُجُ ـ خُرُوْجًا yang berate keluar, kemudian mendapatkan tambahan tasydis pada ‘ain fi’ilnya sehingga menjadi خَرَّجَ ـ يُخَرِّجُ ـ تَخْرِيْجًا yang mempunyai arti mengeluarkan.
Sedangkan menurut istilah Muhadditsin, takhrij hadis berarti menunjukkan letak suatu hadits Nabi yang dimaksud dalam sumber aslinya dengan menerangkan rangkaian sanadnya dan kemudian menjelaskan nilai hadits tersebut.
Dalam melakukan takhrij hadis ada beberapa metode yang dapat digunakan hal ini dikarenakan pada kitab-kitab hadis mempunyai cara penyusunan hadis yang berbeda-beda. Diantara kitab-kitab hadis tersebut ada yang disusun berdasarkan tema-tema tertentu seperti kitab Al-Jami Al-Sahih li al-Bukhary dan Sunan Abi Daud. Sedangkan kitab hadis yang tersusun berdasarkan  nama perawi paling atas yakni sahabat seperti kitab Musnad Ahmad bin Hanbal. Adapun kitab yang tersusun berdasarkan alphabet Arab seperti kitab Al-Jami’ al-Shagir.
Karena adanya perbedaan cara penyusunan kitab hadis tersebut maka diperlukan cara-cara yang berbeda dalam melakukan takhrij hadis.  Ada lima cara melakukan takhrij hadis, yaitu: takhrij dengan kata (bi al-lafzi), takhrij dengan tema (bi al-maudu’i), takhrij dengan permulaan matan (bi awwal al-matan), takhrij dengan sanad pertama (bi al-rawi al-a’la) dan takhrij dengan sifat (bi al-shifah)
a.       Takhrij dengan kata (bi al-lafzi)
Metode takhrij dengan kata adalah mentakhrij sebuah hadis melalui kata (lafzi) matan hadis baik dari kata permulaan, kata yang berada di tengah ataupun kata yang ada di akhir. Kata (lafzi) yang dimaksud disini adalah kata benda (isim) ataupun kata kerja (fi’il) namun tidak berlaku bagi kata sambung (huruf).
Dalam melakukan takhrij dengan kata ini kitab yang digunakan dalam pencarian hadis tersebut adalah Al-Mu’jam al-Mufahraz li Alfaz al-Hadis al-Nabawi. Kamus ini terdiri dari 8 jilid yang disusun oleh tim yang dipimpin Arnold John Wensinck atau yang lebih dikenal dengan A.J. Wensinck. Kata-kata (lafzi) hadis yang termuat di dalam kitab kamus ini merujuk pada kitab Hadis yang 9 yaitu:
1)      Shahih Al-Bukhary (dengan lambang خ  )
2)      Shahih Al-Muslim (dengan lambang م  )
3)      Sunan Abi Daud (dengan lambang د  )
4)      Sunan Al-Tarmizi (dengan lambang ت  )
5)      Sunan Al-Nasa’I (dengan lambang ن  )
6)      Sunan Ibnu Majah (dengan lambang جه )
7)      Sunan Al-Darimi (dengan lambang دي  )
8)      Muwatho Malik (dengan lambang ط  )
9)      Musnad Ahmad (dengan lambang حم  )
Kemudahan dari metode ini adalah pentakhrij tidak perlu hafal seluruh teks matan, namun kesulitannya adalah seorang pentakhrij harus mengetahui akar kata yang akan di carinya.
b.      Takhrij dengan tema (bi al-maudu’i)
Metode takhrij yang kedua adalah takhrij dengan tema, penelusuran hadis ini di dasarkan pada tema (maudu’i), seperti bab Sholat, bab Ilmu dan lain sebagainya. Untuk melakukan proses takhrij dengan tema ini kitab yang digunakan adalah Miftah Kunuz Al-Sunnah.
Hadis-hadis yang termuat di dalam kitab ini adalah hadis yang terdapat pada kitab hadis yang berjumlah 14, yaitu:
1)      Shahih Al-Bukhari (dengan lambang بخ  )
2)      Shahih Al-Muslim (dengan lambang مس  )
3)      Sunan Abi Daud (dengan lambang بد  )
4)      Sunan Al-Tarmizi (dengan lambang تر  )
5)      Sunan Al-Nasa’I (dengan lambang نس  )
6)      Sunan Ibnu Majah (dengan lambang مج )
7)      Sunan Al-Darimi (dengan lambang مي  )
8)      Muwatho Malik (dengan lambang ما  )
9)      Musnad Ahmad (dengan lambang حم  )
10)  Musnad Abu Daud al-Thoyalisi (dengan lambang ط  )
11)  Musnad Zaid bin Ali (dengan lambang ز  )
12)  Sirah Ibnu Hisyam (dengan lambang هش  )
13)  Maghazi al-Waqidi (dengan lambang قد  )
14)  Thabaqat Ibnu Sadin (dengan lambang عد  )
Kemudahan dari metode ini seorang pentakhrij hanya perlu mengetahui tema dari hadis yang akan di cari tidak perlu mengetahui akar katanya. Namun kesulitannya adalah seorang pentakhrij dituntut harus mengetahui tema hadis yang akan di carinya.
c.       Takhrij dengan permulaan matan (bi awwal al-matan)
Takhrij dengan permulaan matan adalah metode takhrij dengan melihat huruf awal pada matan hadis. Misalnya jika sebuah hadis memiliki matan dengan awal huruf tho’ maka mencarinya pada bab huruf tho’.
Takhrij pada metode ini menggunakan kitab  Al-Jami Al-Shagir atau Al-Jami Al-Kabir yang ditulis oleh Al-Suyuti, dan dapat juga dicari dengan menggunakan kitab Mu’jam Jami’ Al-Ushul fi Ahadits Al-Rasul karya Ibnu Al-Atsir. Dari ketiga kitab tersebut kitab Al-Jami’ Al-Shagir lah yang sering digunakan pada metode takhrij dengan permulaan matan.
            Kelebihan dari metode takhrij dengan permulaan matan ini adalah proses pentakhrijan akan berlangsung cepat, sebab pencariannya menurut alphabet huruf awal dari matan hadis. Sedangkan kesulitannya adalah dikhawatirkan pentakhrij lupa awal kata hadisnya atau hanya hafal penggalan tengah dari hadis tersebut.
d.      Takhrij dengan sanad pertama (bi al-rawi al-a’la)
Takhrij dengan sanad pertama adalah metode takhrij dengan cara mencari sanad pertama yakni sahabat Rasulullah (muttasil isnad) atau tabi’in (dalam hadis mursal). Metode ini mengharuskan pentakhrij mengetahui terlebih dahulu sanad awal baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in.
Pada metode ini kitab yang digunakan adalah kitab Musnad atau Al-Athrof. Kitab Musnad adalah kitab yang yang mengkodifikasiannya berdasarkan nama-nama sahabat atau tabi’in, sedangkan kitab Al-Athrof adalah kitab hadis yang menghimpun beberapa hadis para sahabat dan tabi’in sesuai dengan urutan alphabet Arab dengan menyebutkan sebagian dari lafaz hadis. Kitab yang tergolong musnad atau Al-Athrof seperti Kitab Musnad Ahmad bin Hambal atau kitab Tuhfat Al-Syarif  bi Ma’rifat Al-Athrof .
Kelebihan dari metode takhrij dengan sanad pertama adalah akan memeberikan informasi kedekatanpembaca dengan pentakhrij hadis dan kitabnya. Sedangkan kesulitannya adalah para pentakhrij sering tidak tahu dengan sanad pertama yang berasal dari sahabat maupun tabi’in.  
e.       Takhrij dengan sifat (bi al-shifah)
Metode takhrij dengan sifat adalah mencari hadis yang sudah diketahui sifatnya misalnya shahih, maudhu’, qudsi, mursal, masyhur dan mutawatir. Pada saat ini takhrij dengan sifat sudah dimudahkan karena sudah banyak kitab-kitab yang memuat sifat-sifat tertentu. Contoh kitab yang berisi hadis maudhu’ seperti kitab Al-Maudhu’at karya Ibnu Al-Jauzi, kitab yang berisi hadis mutawatir seperti kitab Al-Azhar Al-Mutanatsirah ‘an Al-Akhbar Al-Mutawatirah karya Al-Suyuti. Sedangkan kitab yang berisi hadis qudsi seperti kitab Al-Ittihadat Al-Saniyah fi Al-Ahadits Al-Qudsiyah karya Abd al-Rauf Al-Munawi. Kitab yang berisi hadis masyhur seperti kitab Al-Maqasid Al-Hasanah karya Al-Sakhawi. Kitab yang berisi hadis mursal seperti kitab Al-Marasil karya Abu Dawud Al-Sijistani.
Kelebihan metode takhrij ini adalah sudah mengetahui sifat hadisnya dan sekarang sudah beredar kitab-kitab hadis berdasarkan sifatnya. Sedangkan kesulitan dari metode ini pentakhrij seringkali tidak mengetahui sifat-sifat hadis yang akan di takhrij.
2.      I’tibar Sanad
Kata i'tibar ( اِعْتِبَار ) menurut bahasa berarti  mengambil pengajaran. Sedangkan menurut istilah ilmu hadits, i'tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits tertentu, yang hadits itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadits dimaksud.
Dengan dilakukannya al-i'tibar, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadits yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan masing-masing periwayat yang bersangkutan.
Setalah selesai melakukan I’tibar seluruh sanad maka langkah selanjutnya adalah membuat skema sanad. Pembuatan skema sanad ini untuk mempermudah dan memperjelas proses kegiatan i'tibar, diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad bagi hadits yang akan diteliti.
Dalam melukiskan jalur-jalur sanad, garis-garisnya harus jelas sehingga dapat dibedakan antara jalur sanad yang satu dengan jalur sanad yang lainnya. Pembuatan garis-garis jalur sanad terkadang harus diulang-ulang perbaikannya bila hadits yang diteliti memiliki sanad yang banyak.
Nama-nama periwayat yang dicantumkan dalam skema sanad harus cermat sehingga tidak mengalami kesulitan tatkala dilakukan penelitian melalui kitab-kitab rijal (kitab-kitab yang menerangkan keadaan para periwayat hadits) terhadap masing-masing periwayat. Terkadang pribadi periwayat yang sama dalam sanad yang berbeda tertulis dengan nama yang berbeda; begitu juga sebaliknya, terkadang nama periwayat memiliki kesamaan atau kemiripan, tetapi pribadi orangnya berlainan. Tanpa kecermatan penulisan dan penelitian nama-nama periwayat dapat menyebabkan kesalahan dalam menilai sanad yang bersangkutan.
Nama-nama periwayat yang ditulis dalam skema sanad meliputi seluruh nama, mulai dari periwayat yang pertama, yakni sahabat Nabi yang mengemukakan hadits, sampai mukharrij-nya, misalnya al-Bukhari atau Muslim. Terkadang seorang mukharrij memiiiki lebih dari satu sanad untuk matn hadits yang sama ataupun semakna. Bila hal itu terjadi, maka masingmasing sanad harus jelas tampak dalam skema.
3.      Kritik Sanad
Kritik Sanad dalam ilmu hadis adalah upaya menyeleksi hadis dari segi sanad yang ada sehingga akan dapat diketahui hadis yang sahih dan hadis yang tidak sahih.
Kritik Sanad dianggap lebih penting dibandingkan kritik Matan olah para ahli Hadis, hal ini disebabkan karena sebuah matan Hadis baru memeiliki arti dan dapat dilakukan kritik matan hadis setalah kritik sanad selesai dilakukan. Karena sebuah matan tidak akan dikatan sebuah hadis jika tanpa disertai Sanadnya.
Pada kritik sanad ada beberapa aspek yang diteliti sehingga hadis tersebut dapat dinyatakan shahih atau tidak shahih, aspek tersebut adalah:
a.       Aspek ketersambungan sanad
Menurut Imam Bukhari sebuah sanad akan dinyatakan besambung apabila memenuhi kreteria sebagai berikut, pertama al-liqa yakni adanya pertauatan langsung antar perawi dengan ditandai pertemuan langsung. Kedua al-mu’assarah yakni persamaan masa hidup antar perawi atau antar guru dan muridnya. Sedangkan Imam muslim hanya mensyaratkan aspek mu’assarah untuk menentukan ketersambutan sanad.
b.      Aspek keadilan perawi
Dalam istilah ilmu hadis adil mempunyai beberapa definisi seprti meneurut al-Hakim bdan al-Naisaburi yang menyatakan bahwa seorang rawi dianggap adil apabila tidak berbuat bid’ah dan maksiat yang merusak moralitasnya. Sedangkan Ibn Shalah menayatakan bahwa seoarang rawi dianggap adil apabila beragama islam, balig, berakal, memelihara moralitas (muru’ah) dan tidak berbuat fasiq.
c.       Aspek intelektualitas perawi
Intelektualitas perawi atau yang sering disebut (dhabit) dalam ilmu hadis memepunyai beberapa pengertian. Salah satunya dikemukakan oleh Al-Sarkhasi yang menjelaskan bahwa dhabit adalah tingkat kemampuan dan kesempurnaan intelektualitas seseorang dalam proses penerimaan hadis, mampu memahami isi kandungan hadis dan menghafal dan menjaga hafalannya hingga waktu penyebaran dan periwayatan kepada orang lain.
d.      Terhindar dari syadz dan illat.
Syadz meburut al-Safi’i apabila terdapat hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perwi tsi qah lainnya. Sedangkan illat Ibnu taimiyah adalah hadis yang sanadnya secara lahir tampak baik, namun setelah diteliti ternayata di dalamnya terdapat perwai yang ghalt (banyak melakukan kesalahan).
4.      Kritik Matan
Kritik matan hadis adalah uapaya pengujian atas keabsahan suatu matan hadis yang bertujuan untuk memisahkan matan hadis yang shahih dan matan hadis yang tidak shahih. Dalam kritik matan sebuah matan hadis dianggap shahih apabila terhindar dari Syadz dan terhindar dari ‘illat.
Terhindar dari syadz dapat diartikan bahwa matan hadis tidak mempunyai pertentangan atau ketidaksejalanan riwayat seorang perawi yang menyendiri dengan seorang perawi yang kuat hafalan dan ingatannya. Pertentangan tersebut adalah dalam hal menukil matan hadis terdapat penambahan, pengurangan, dan perubahan tempat (maqlub).
Adapun terhindar dari ‘illat adalah pada matan hadis tidak terdapat ‘illat yaitu pada matan hadis yang tampak shahih namun memiliki kecacatan tersembunyi. ‘illat tersebut bisa berupa masuknya redaksi hadis lain pada hadis tertentu, atau redaksi dimaksud memang bukan lafaz-lafaz yang mencerminkan sebagai suatu hadis dari Rasulullah sehingga pada akhirnya matan hadis tersebut bisa menyalahi nash-nash yang lebih kuat.

5.      Kesimpulan Kritik Hadis
Setelah melakukan empat langkah dalam kritik hadis langkah terakhir adalah menarik kesimpulan dari proses kritik hadis. Kesimpulan dari kritik hadis melihat hasil dari kritik sanad dan kritik matan. Apabila tidak ada syadz dan ‘illat pada sanad dan matan maka dapat disimpulkan bahwa hadis tersebut adalah shahih.
D.    Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      kritik Hadis adalah upaya menyeleksi (membedakan) antara hadis shahih dan dhaif, serta menetapkan status perawinya.
2.      Langkah-langkah kritik hadis ada 5 yaitu:
-          Takhrij hadis
-          I’tibar sanad
-          Kritik sanad
-          Kritik matan
-          Kesimpulan kritik hadis






DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hasjim, Kritik Matan Hadis, Yogyakarta: TERAS, 2004.

Arifin, Zainul, Metodologi Pentarjihan Hadits Ditinjau Dari Segi sanad dan Matan, dalam Jurnal Online Metodologi Tarjih Muhammadiyah, Edisi 1, No. 1 tahun 2012.

Fathullah, Ahmad Lutfi, Metode Belajar Interaktif Hadis dan Ilmu Hadis dalam PKH Pusat kajian Hadis (Program/softwere).

Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadits, penerjemah Mifdhol Abdurrahman dari judul asli, Mabahits fi Ulum al-Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.

Sumbulah, Umi, “Kritik Hadis; Pendekatan Historis Metodologis”, Malang: UIN-Malang Press, 2008.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar