MENGENAL
LANGKAH-LANGKAH KRITIK HADIS
Oleh: Hadi Purwanto
A. Pendahuluan
Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam
pengetahuan. Sumber pengetahuan tersebut ada dua macam, yaitu naqli dan aqli.
Sumber yang bersifat naqli merupakan pilar dari sebagian besar ilmu
pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus
maupun masalah dunia secara umum. Sumber naqli yang paling otentik bagi
umat Islam dalam hal ini adalah Al-Qur’an dan hadits.
Hadis bagi umat Islam menempati urutan kedua sesudah
Al-Qur’an karena disamping sebagai sumber ajaran Islam hadis juga secara
langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasulullah SAW, dan juga berfungsi
sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-uangkapan Al-Qur’an yang masih bersifat
mujmal, ‘am dan lain sebagainya.
Dalam perkembangannya Hadis banyak ditulis oleh para
ulama-ulama Hadis (muhadditsin). Kitab-kitab yang telah ditulis sangat beragam,
baik dari segi sitematika, topic penghimpunan maupun kualitas hadis yang dikandungnya.
Hal tersebut terjadi karena proses penulisan dan pembukuan Hadis, kreteria
penyeleksian serta obyek dan sasaran yang menjadi perhatian Ulama Hadis
berbeda.
Dengan adanya keragaman kitab hadis terutama dari segi kualitas hadis
yang dikandungnya, upaya meneliti keshahihan hadis yang termuat menjadi urgen
dilakukan. Tujuannya agar umat Islam benar-benar mampu memilah-milah antara
hadis yang shahih dan hadis yang tidak shahih.
Salah satu upaya untuk mengetahui keshahihah suatu
hadis para ulama hadis melakukan kritik hadis. Sehingga setalah dialakukan
kritik hadis tersebut sebuah hadis benar-benar diketahui kualitasnya.
Adapun batasan penulisan makalah ini agar lebih
terarah penulis hanya menjelaskan tentang: (1) Pengertian kritik hadis, (2)
Langkah-langkah kritik hadis
B. Pengertian Kritik
Hadis
Istilah krtitik pada literatur Arab diambil dari term naqd.
Kata naqd ( نَقْد ) sendiri bermakna kritik. Banyak berbagai
ungkapan yang mengandung makna kritik menggunakan kata naqd seperti
ungkapan naqaada al-kalam wa naqada al-syu’ur artinya ia telah
mengkritik bahasa dan telah mengkritik syair-syair.
Beberapa ulama hadis pun menggunakan istilah kritik
pada karyanya seperti Imam Abu Hatim menggunakan istilah al-naqd wa al-nuqad
pada kitabnya yang berjudul al-Jarh wa al-Ta’dil. Bahkan ada kitab yang
menggunakan istilah kritik pada judulnya seperti kitab yang berjudul Ihtimam
al-Muhadditsin bin Naqd al-Hadits Sanadan wa Matnan karya Luqman al-Salafi.
Adapun pengertian kritik Hadis menurut Ibnu Hatim
Al-Razi adalah upaya menyeleksi (membedakan) antara hadis shahih dan dhaif,
serta menetapkan status perawinya.
Sedangkan dalam disiplin Ilmu Kritik Hadis dapat
didefinisikan sebagai berikut:
Penetapan
status cacat atau ‘adil para perawi hadis dengan mempergunakan idiom khusus
berdasar bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para ahlinya, dan mencermati matan-matan
hadis sepanjang shahih sanadnya untuk tujuan mengakui validitas atau menilai
lemah, dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan hadis yang shahih serta
mengatasi gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikasikan tolak ukur yang
detail.
Kritik hadis menjadi sebuah keharusan untuk menentukan
hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Tujuannya adalah selain mengetahui
keshahihan hadis uapaya kritik hadis juga akan memberikan keyakinan umat Islam
dalam melaksanakan serangkaian ajaran agama yang berpegang pada hadis yang
telah terbukti keshahihannya.
C. Langkah-Langkah
Kritik Hadis
Dalam melakukan kritik Hadis setidaknya ada 5 langkah
yang harus dilakukan, diantaranya yaitu: takhrij hadis, i’tibar sanad, kritik
sanad, kritik matan dan kesimpulan kritik hadis.
1. Takhrij Hadis
Secara
bahasa Takhrij berasal dari kata خَرَجَ ـ يَخْرُجُ ـ خُرُوْجًا yang berate keluar,
kemudian mendapatkan tambahan tasydis pada ‘ain fi’ilnya sehingga
menjadi خَرَّجَ ـ يُخَرِّجُ ـ تَخْرِيْجًا yang mempunyai arti
mengeluarkan.
Sedangkan
menurut istilah Muhadditsin, takhrij hadis berarti
menunjukkan letak suatu hadits
Nabi yang dimaksud dalam sumber aslinya dengan menerangkan rangkaian
sanadnya dan kemudian menjelaskan nilai hadits tersebut.
Dalam
melakukan takhrij hadis ada beberapa metode yang dapat digunakan hal ini
dikarenakan pada kitab-kitab hadis mempunyai cara penyusunan hadis yang
berbeda-beda. Diantara kitab-kitab hadis tersebut ada yang disusun berdasarkan
tema-tema tertentu seperti kitab Al-Jami Al-Sahih li al-Bukhary dan Sunan
Abi Daud. Sedangkan kitab hadis yang tersusun berdasarkan nama perawi paling atas yakni sahabat seperti
kitab Musnad Ahmad bin Hanbal. Adapun kitab yang tersusun berdasarkan
alphabet Arab seperti kitab Al-Jami’ al-Shagir.
Karena
adanya perbedaan cara penyusunan kitab hadis tersebut maka diperlukan cara-cara
yang berbeda dalam melakukan takhrij hadis.
Ada lima cara melakukan takhrij hadis, yaitu: takhrij dengan kata (bi
al-lafzi), takhrij dengan tema (bi al-maudu’i), takhrij dengan
permulaan matan (bi awwal al-matan), takhrij dengan sanad pertama (bi
al-rawi al-a’la) dan takhrij dengan sifat (bi al-shifah)
a. Takhrij dengan kata (bi al-lafzi)
Metode
takhrij dengan kata adalah mentakhrij sebuah hadis melalui kata (lafzi) matan
hadis baik dari kata permulaan, kata yang berada di tengah ataupun kata yang
ada di akhir. Kata (lafzi) yang dimaksud disini adalah kata benda (isim)
ataupun kata kerja (fi’il) namun tidak berlaku bagi kata sambung (huruf).
Dalam
melakukan takhrij dengan kata ini kitab yang digunakan dalam pencarian hadis
tersebut adalah Al-Mu’jam al-Mufahraz li Alfaz al-Hadis al-Nabawi. Kamus
ini terdiri dari 8 jilid yang disusun oleh tim yang dipimpin Arnold John
Wensinck atau yang lebih dikenal dengan A.J. Wensinck. Kata-kata (lafzi)
hadis yang termuat di dalam kitab kamus ini merujuk pada kitab Hadis yang 9
yaitu:
1) Shahih Al-Bukhary (dengan lambang خ )
2) Shahih Al-Muslim (dengan lambang م )
3) Sunan Abi Daud (dengan lambang د )
4) Sunan Al-Tarmizi (dengan lambang ت )
5) Sunan Al-Nasa’I (dengan lambang ن )
6) Sunan Ibnu Majah (dengan lambang جه )
7) Sunan Al-Darimi (dengan lambang دي )
8) Muwatho Malik (dengan lambang ط )
9) Musnad Ahmad (dengan lambang حم )
Kemudahan
dari metode ini adalah pentakhrij tidak perlu hafal seluruh teks matan, namun
kesulitannya adalah seorang pentakhrij harus mengetahui akar kata yang akan di
carinya.
b. Takhrij dengan tema (bi al-maudu’i)
Metode
takhrij yang kedua adalah takhrij dengan tema, penelusuran hadis ini di
dasarkan pada tema (maudu’i), seperti bab Sholat, bab Ilmu dan lain
sebagainya. Untuk melakukan proses takhrij dengan tema ini kitab yang digunakan
adalah Miftah Kunuz Al-Sunnah.
Hadis-hadis
yang termuat di dalam kitab ini adalah hadis yang terdapat pada kitab hadis
yang berjumlah 14, yaitu:
1) Shahih Al-Bukhari (dengan lambang بخ )
2) Shahih Al-Muslim (dengan lambang مس )
3) Sunan Abi Daud (dengan lambang بد )
4) Sunan Al-Tarmizi (dengan lambang تر )
5) Sunan Al-Nasa’I (dengan lambang نس )
6) Sunan Ibnu Majah (dengan lambang مج )
7) Sunan Al-Darimi (dengan lambang مي )
8) Muwatho Malik (dengan lambang ما )
9) Musnad Ahmad (dengan lambang حم )
10) Musnad Abu Daud al-Thoyalisi (dengan
lambang ط )
11) Musnad Zaid bin Ali (dengan lambang ز )
12) Sirah Ibnu Hisyam (dengan lambang هش )
13) Maghazi al-Waqidi (dengan lambang قد )
14) Thabaqat Ibnu Sadin (dengan lambang عد )
Kemudahan
dari metode ini seorang pentakhrij hanya perlu mengetahui tema dari hadis yang
akan di cari tidak perlu mengetahui akar katanya. Namun kesulitannya adalah
seorang pentakhrij dituntut harus mengetahui tema hadis yang akan di carinya.
c. Takhrij dengan permulaan matan (bi awwal
al-matan)
Takhrij
dengan permulaan matan adalah metode takhrij dengan melihat huruf awal pada
matan hadis. Misalnya jika sebuah hadis memiliki matan dengan awal huruf tho’
maka mencarinya pada bab huruf tho’.
Takhrij pada
metode ini menggunakan kitab Al-Jami Al-Shagir
atau Al-Jami Al-Kabir yang ditulis oleh Al-Suyuti, dan dapat juga dicari
dengan menggunakan kitab Mu’jam Jami’ Al-Ushul fi Ahadits Al-Rasul karya
Ibnu Al-Atsir. Dari ketiga kitab tersebut kitab Al-Jami’ Al-Shagir lah
yang sering digunakan pada metode takhrij dengan permulaan matan.
Kelebihan dari metode takhrij dengan
permulaan matan ini adalah proses pentakhrijan akan berlangsung cepat, sebab
pencariannya menurut alphabet huruf awal dari matan hadis. Sedangkan
kesulitannya adalah dikhawatirkan pentakhrij lupa awal kata hadisnya atau hanya
hafal penggalan tengah dari hadis tersebut.
d. Takhrij dengan sanad pertama (bi al-rawi
al-a’la)
Takhrij
dengan sanad pertama adalah metode takhrij dengan cara mencari sanad pertama
yakni sahabat Rasulullah (muttasil isnad) atau tabi’in (dalam hadis
mursal). Metode ini mengharuskan pentakhrij mengetahui terlebih dahulu sanad
awal baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in.
Pada metode
ini kitab yang digunakan adalah kitab Musnad atau Al-Athrof.
Kitab Musnad adalah kitab yang yang mengkodifikasiannya berdasarkan
nama-nama sahabat atau tabi’in, sedangkan kitab Al-Athrof adalah kitab
hadis yang menghimpun beberapa hadis para sahabat dan tabi’in sesuai dengan
urutan alphabet Arab dengan menyebutkan sebagian dari lafaz hadis. Kitab yang
tergolong musnad atau Al-Athrof seperti Kitab Musnad Ahmad bin Hambal
atau kitab Tuhfat Al-Syarif bi
Ma’rifat Al-Athrof .
Kelebihan
dari metode takhrij dengan sanad pertama adalah akan memeberikan informasi
kedekatanpembaca dengan pentakhrij hadis dan kitabnya. Sedangkan kesulitannya
adalah para pentakhrij sering tidak tahu dengan sanad pertama yang berasal dari
sahabat maupun tabi’in.
e. Takhrij dengan sifat (bi al-shifah)
Metode
takhrij dengan sifat adalah mencari hadis yang sudah diketahui sifatnya
misalnya shahih, maudhu’, qudsi, mursal, masyhur dan mutawatir. Pada saat ini
takhrij dengan sifat sudah dimudahkan karena sudah banyak kitab-kitab yang
memuat sifat-sifat tertentu. Contoh kitab yang berisi hadis maudhu’ seperti
kitab Al-Maudhu’at karya Ibnu Al-Jauzi, kitab yang berisi hadis
mutawatir seperti kitab Al-Azhar Al-Mutanatsirah ‘an Al-Akhbar
Al-Mutawatirah karya Al-Suyuti. Sedangkan kitab yang berisi hadis qudsi
seperti kitab Al-Ittihadat Al-Saniyah fi Al-Ahadits Al-Qudsiyah karya
Abd al-Rauf Al-Munawi. Kitab yang berisi hadis masyhur seperti kitab Al-Maqasid
Al-Hasanah karya Al-Sakhawi. Kitab yang berisi hadis mursal seperti kitab Al-Marasil
karya Abu Dawud Al-Sijistani.
Kelebihan
metode takhrij ini adalah sudah mengetahui sifat hadisnya dan sekarang sudah
beredar kitab-kitab hadis berdasarkan sifatnya. Sedangkan kesulitan dari metode
ini pentakhrij seringkali tidak mengetahui sifat-sifat hadis yang akan di
takhrij.
2. I’tibar Sanad
Kata i'tibar ( اِعْتِبَار ) menurut bahasa
berarti mengambil pengajaran. Sedangkan
menurut istilah ilmu hadits, i'tibar
berarti menyertakan sanad-sanad yang lain
untuk suatu hadits tertentu, yang hadits itu pada bagian sanadnya tampak
hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad
yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang
lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadits dimaksud.
Dengan
dilakukannya al-i'tibar, maka akan terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad
hadits yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya, dan metode
periwayatan yang digunakan masing-masing periwayat yang bersangkutan.
Setalah
selesai melakukan I’tibar seluruh sanad maka langkah selanjutnya adalah membuat
skema sanad. Pembuatan skema sanad ini untuk
mempermudah dan memperjelas proses kegiatan i'tibar, diperlukan pembuatan
skema untuk seluruh sanad bagi hadits yang akan diteliti.
Dalam
melukiskan jalur-jalur sanad, garis-garisnya harus jelas sehingga dapat dibedakan
antara jalur sanad yang satu dengan jalur sanad yang lainnya. Pembuatan
garis-garis jalur sanad terkadang harus diulang-ulang perbaikannya
bila hadits yang diteliti memiliki sanad yang banyak.
Nama-nama
periwayat yang dicantumkan dalam skema sanad harus cermat sehingga tidak
mengalami kesulitan tatkala dilakukan penelitian melalui kitab-kitab rijal (kitab-kitab
yang menerangkan keadaan para periwayat hadits) terhadap masing-masing
periwayat. Terkadang pribadi periwayat yang sama dalam sanad yang berbeda
tertulis dengan nama yang berbeda; begitu juga sebaliknya, terkadang nama
periwayat memiliki kesamaan atau kemiripan, tetapi pribadi orangnya berlainan.
Tanpa kecermatan penulisan dan
penelitian nama-nama periwayat dapat menyebabkan kesalahan dalam menilai
sanad yang bersangkutan.
Nama-nama
periwayat yang ditulis dalam skema sanad meliputi seluruh nama,
mulai dari periwayat yang pertama, yakni sahabat Nabi yang mengemukakan
hadits, sampai mukharrij-nya, misalnya al-Bukhari atau Muslim.
Terkadang seorang mukharrij memiiiki lebih dari satu sanad untuk matn
hadits yang sama ataupun semakna.
Bila hal itu terjadi, maka masingmasing sanad
harus jelas tampak dalam skema.
3. Kritik Sanad
Kritik Sanad
dalam ilmu hadis adalah upaya menyeleksi hadis dari segi sanad yang ada
sehingga akan dapat diketahui hadis yang sahih dan hadis yang tidak sahih.
Kritik Sanad
dianggap lebih penting dibandingkan kritik Matan olah para ahli Hadis, hal ini
disebabkan karena sebuah matan Hadis baru memeiliki arti dan dapat dilakukan
kritik matan hadis setalah kritik sanad selesai dilakukan. Karena sebuah matan
tidak akan dikatan sebuah hadis jika tanpa disertai Sanadnya.
Pada kritik
sanad ada beberapa aspek yang diteliti sehingga hadis tersebut dapat dinyatakan
shahih atau tidak shahih, aspek tersebut adalah:
a. Aspek ketersambungan sanad
Menurut Imam
Bukhari sebuah sanad akan dinyatakan besambung apabila memenuhi kreteria
sebagai berikut, pertama al-liqa yakni adanya pertauatan langsung antar perawi
dengan ditandai pertemuan langsung. Kedua al-mu’assarah yakni persamaan masa
hidup antar perawi atau antar guru dan muridnya. Sedangkan Imam muslim hanya
mensyaratkan aspek mu’assarah untuk menentukan ketersambutan sanad.
b. Aspek keadilan perawi
Dalam
istilah ilmu hadis adil mempunyai beberapa definisi seprti meneurut al-Hakim
bdan al-Naisaburi yang menyatakan bahwa seorang rawi dianggap adil apabila
tidak berbuat bid’ah dan maksiat yang merusak moralitasnya. Sedangkan Ibn
Shalah menayatakan bahwa seoarang rawi dianggap adil apabila beragama islam,
balig, berakal, memelihara moralitas (muru’ah) dan tidak berbuat fasiq.
c. Aspek intelektualitas perawi
Intelektualitas
perawi atau yang sering disebut (dhabit) dalam ilmu hadis memepunyai beberapa pengertian.
Salah satunya dikemukakan oleh Al-Sarkhasi yang menjelaskan bahwa dhabit adalah
tingkat kemampuan dan kesempurnaan intelektualitas seseorang dalam proses
penerimaan hadis, mampu memahami isi kandungan hadis dan menghafal dan menjaga
hafalannya hingga waktu penyebaran dan periwayatan kepada orang lain.
d. Terhindar dari syadz dan illat.
Syadz
meburut al-Safi’i apabila terdapat hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi
tsiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perwi tsi qah lainnya.
Sedangkan illat Ibnu taimiyah adalah hadis yang sanadnya secara lahir tampak
baik, namun setelah diteliti ternayata di dalamnya terdapat perwai yang ghalt
(banyak melakukan kesalahan).
4. Kritik Matan
Kritik matan
hadis adalah uapaya pengujian atas keabsahan suatu matan hadis yang bertujuan
untuk memisahkan matan hadis yang shahih dan matan hadis yang tidak shahih.
Dalam kritik matan sebuah matan hadis dianggap shahih apabila terhindar dari
Syadz dan terhindar dari ‘illat.
Terhindar
dari syadz dapat diartikan bahwa matan hadis tidak mempunyai pertentangan atau
ketidaksejalanan riwayat seorang perawi yang menyendiri dengan seorang perawi
yang kuat hafalan dan ingatannya. Pertentangan tersebut adalah dalam hal
menukil matan hadis terdapat penambahan, pengurangan, dan perubahan tempat
(maqlub).
Adapun
terhindar dari ‘illat adalah pada matan hadis tidak terdapat ‘illat yaitu pada
matan hadis yang tampak shahih namun memiliki kecacatan tersembunyi. ‘illat
tersebut bisa berupa masuknya redaksi hadis lain pada hadis tertentu, atau
redaksi dimaksud memang bukan lafaz-lafaz yang mencerminkan sebagai suatu hadis
dari Rasulullah sehingga pada akhirnya matan hadis tersebut bisa menyalahi
nash-nash yang lebih kuat.
5. Kesimpulan Kritik Hadis
Setelah
melakukan empat langkah dalam kritik hadis langkah terakhir adalah menarik
kesimpulan dari proses kritik hadis. Kesimpulan dari kritik hadis melihat hasil
dari kritik sanad dan kritik matan. Apabila tidak ada syadz dan ‘illat pada
sanad dan matan maka dapat disimpulkan bahwa hadis tersebut adalah shahih.
D. Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. kritik Hadis adalah upaya menyeleksi
(membedakan) antara hadis shahih dan dhaif, serta menetapkan status perawinya.
2. Langkah-langkah kritik hadis ada 5 yaitu:
-
Takhrij hadis
-
I’tibar sanad
-
Kritik sanad
-
Kritik matan
-
Kesimpulan kritik hadis
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas, Hasjim, Kritik Matan Hadis, Yogyakarta:
TERAS, 2004.
Arifin, Zainul, Metodologi Pentarjihan Hadits
Ditinjau Dari Segi sanad dan Matan, dalam Jurnal Online Metodologi Tarjih
Muhammadiyah, Edisi 1, No. 1 tahun 2012.
Fathullah, Ahmad Lutfi, Metode Belajar Interaktif
Hadis dan Ilmu Hadis dalam PKH Pusat kajian Hadis (Program/softwere).
Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu
Hadits, penerjemah Mifdhol Abdurrahman dari judul asli, Mabahits fi Ulum
al-Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Sumbulah, Umi, “Kritik Hadis; Pendekatan Historis
Metodologis”, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta:
Hidakarya Agung, 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar